IBADAH DAN PEMBENTUKAN PERILAKU POSITIF
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Di dalam
ibadah kita dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya baik itu
nilai pendidikan,moral, aqidah, keimanan, dan lain-lain. Tujuan dari tema
Ibadah dalam pembentukan perilaku positif adalah untuk mendidik manusia agar
beribadah kepada Allah swt, dan bertaqwa kepada-Nya, serta mendidik manusia
agar memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam ibadah.
Allah telah menetapkan tujuan penciptaan manusia dan jin yaitu
untuk beribadah kepada- Nya, sebagai mana terdapat dalam firman-Nya:
“Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada- Ku”. (Adz Dzariyat
56)
Ibadah dalam Islam mencakup seluruh
sisi kehidupan, ritual dan social, habluminallah,dan habluminan naas, meliputi pikiran, perasaan, dan pekerjaan. “Katakanlah: Sesungguhnya sholatku,
ibadahku, hidupku,dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (Al An’am 162)
1.2 Rumusan Masalah
·
Apa Hakekat Ibadah?
·
Apa yang dimaksut dengan Ibadah Mahdhah dan Ghoiru
Mahdhah?
·
Bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat tentang
ibadah?
1.3 Tujuan
·
Mengetahui hakekat tentang ibadah.
·
Mengetahui tentang Ibadah Mahdhah dan ghoiru
mahdhah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat ibadah
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan
diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah mempunyai banyak definisi,
tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi ibadah itu antara lain :
1.
Ibadah
ialah taat kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-perintah-Nya (yangdigariskan) melalui lisan para
Rasul-Nya,2.
2.
Ibadah
adalah merendahkan diri kepada Allah , yaitu tingkatan ketundukan yang paling
tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi,3.
3.
Ibadah
ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah
, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun
bathin. Ini adalah definisiibadah yang paling lengkap.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan.
Rasa khauf (takut),
raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan),
raghbah (senang) danrahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan
dengan hati). Sedangkan shalat,zakat, haji, dan jihad adalah ibadah
badaniyah qalbiyah (fisik danhati). Serta masih banyak lagi
macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia,
Allah berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki
sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya merekamemberi Aku
makan. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rizki yang mempunyai
kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS.
Adz-Dzariyat: 56-58)
Allah memberitahukan, hikmah penciptaan jin
dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah . Dan
Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang
membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan merekakepada Allah , maka mereka
menyembah Nya sesuai dengan aturan syari’at -Nya. Makasiapa yang menolak
beribadah kepada Allah , ia adalah sombong. Siapa yang menyembah Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan- Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah).
Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia
adalahmukmin muwahhid (yang mengesakan Allah ).
2.2. Jenis ‘Ibadah
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya;
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya;
1. ‘Ibadah Mahdhah,
Ibadah
Mahdahah adalah penghambaan yang murni hanya merupakan hubung an antara
hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah bentuk ini memiliki 4
prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan
adanya dalil perintah, baik
dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh
ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b.Tatacaranya harus berpola kepada
contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh
Allah adalah untuk memberi contoh:
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 4: 64).
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 4: 64).
وما
آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…الحشر 7
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Shalat
dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya, Nabi bersabda:
صلوا
كما رايتمونى اصلى .رواه البخاري . خذوا عنى مناسككم .
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu
Jika
melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan
praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara meng-ada-ada,
yang populer disebut bid’ah:
Sabda Nabi saw.:
Salah
satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah
karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka:
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi:
Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi:
Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
1. Wudhu,
2. Tayammum
3. Mandi hadats
4. Adzan
5. Iqamat
6. Shalat
7. Membaca al-Quran
8. I’tikaf
9. Shiyam ( Puasa )
10. Haji
11. Umrah
12. Tajhiz al- Janazah
2. Tayammum
3. Mandi hadats
4. Adzan
5. Iqamat
6. Shalat
7. Membaca al-Quran
8. I’tikaf
9. Shiyam ( Puasa )
10. Haji
11. Umrah
12. Tajhiz al- Janazah
2. Ibadah Ghairu Mahdhah,
(tidak murni semata hubungan dengan Allah) yaitu ibadah yang di samping
sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau
interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya . Prinsip-prinsip dalam
ibadah ini, ada 4:
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diseleng garakan.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasulbid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diseleng garakan.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasulbid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c. Bersifat rasional,
ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan
oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk,
merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d.
Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka
selama itu boleh dilakukan.
2.3. Hikmah Ibadah Mahdhah
Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya (QS. 2: 144).
Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya (QS. 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak).
Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk
(ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i,
arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya
satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa).
Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai
mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli
bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian
juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa
al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.
2.4.
cara menyikapi perbedaan pendapat tentang ibadah
Perbedaan pandangan dalam masalah-masalah ibadah di kalangan
para ulama terjadi karena beberapa alasan dan beberapa kondisi. Sikap terbaik
dalam menghadapi perselisihan di antara ulama adalah sebagaimana ayat berikut:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)
Ini adalah prinsip agung yang mesti
diikuti oleh setiap muslim, yaitu mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa
maksudnya?
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
قَالَ مُجَاهِدٌ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ
السَّلَفِ: أَيْ: إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَسَنَةِ رَسُولِهِ
(وَهَذَا أَمْرٌ مِنَ اللَّهِ، عَزَّ
وَجَلَّ، بِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ تَنَازَعَ النَّاسُ فِيهِ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ
وَفُرُوعِهِ أَنْ يَرُدَّ التَّنَازُعَ فِي ذَلِكَ إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ،
كَمَا قَالَ تَعَالَى: وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى
اللَّهِ (الشُّورَى:10
فَمَا حَكَمَ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ
وَسُنَّةُ رَسُولِهِ وَشَهِدَا لَهُ بِالصِّحَّةِ فَهُوَ الْحَقُّ، وَمَاذَا
بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ
Mujahid
dan lebih dari satu orang salaf berkata: yaitu kembalikan kepada kitabullah dan
sunah Rasul-Nya. Ini adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa semua hal yang diperselisihkan
manusia, baik perkara pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, maka hendaknya
perselisihan itu dikembalikan menurut keterangan Alquran dan As-Sunnah.
Sebagaimana firman-Nya: tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah)
kepada Allah. (Syura:10)
Maka, apa-apa yang dihukumi oleh kitabullah dan sunah Rasul-Nya, dan hal
tersebut dinyatakan benar oleh keduanya, maka itulah Al-haq (kebenaran), dan
selain itu adalah kesesatan. (Tafsir Alquran Al-‘Azhim,
2/345)
Ini yang pertama. Kemudian, jika kedua
pihak merasa pendapatnyalah yang lebih sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah
dengan penelitian masing-masing, tanpa hawa nafsu dan fanatik, maka hendaknya
mereka memegang dan meyakini pendapatnya itu, tanpa mengingkari pendapat
saudaranya, apalagi meremehkannya, dan menyerang pihak yang berbeda.
Oleh karenanya, perlu
nampaknya kita perhatikan nasihat dan contoh baik dari para imam terdahulu
dalam menyikapi perselisihan ini.
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam
Sufyan Ats-Tsauri, sebagai berikut:
سفيان الثوري يقول إذا رأيت الرجل يعمل
العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه
“Jika
engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal
engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau melarangnya.” (Imam Abu Nu’aim
Al-Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133)
Berkata
Imam an Nawawi Rahimahullah:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ
يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ
لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ
أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد
الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد
كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر
الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع
عَنْهُ
“Dan
Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri
ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama.
Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam.
Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada
pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid
adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti
(muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu,
dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.”
(Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh
Al-Islam)
Jadi, yang boleh
diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’.
Adapun zona ijtihadiyah, maka hendaknya menerima dengan lapang dada dan tidak
saling mengingkari.
DAFTAR PUSTAKA
al Bantani, Imam Nawawi, Nashaihul
Ibad. Toha Putra : Semarang.
al Ghazali, Abu
Hamid, 2007. Minhaj al Abidin Ila al Jannah. Jogjakarta:
Diva Press.
http://www.dakwatuna.com/2014/11/18/60194/cara-menyikapi-perbedaan-pendapat-dalam-masalah-fiqih/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar